Drama di negara-negara berkembang baru dicobakan untuk menjadi profesi. Tetapi nampaknya langkah ke arah itu masih terlalu jauh. Masalahnya berbagai teater tradisi yang sudah hidup di kalangan rakyat luas, lebih banyak merupakan paguyuban. Para pelakunya adalah anggota komunitas yang memiliki pekerjaan lain untuk menyambung hidupnya. Teater lebih merupakan pengabdian sosial dari individu anggota masyarakat untuk kehidupan bersama.
Dalam diskusi pemberdayaan teater rakyat di Serang, Banten pada tahun 2005, seorang pemimpin teater rakyat curhat. Dia menceritakan bagaimana sulitnya hidup dengan teater. Walaupun kelompoknya tergolong langka dan paling terkemuka, tetapi pendapatannya tak tentu, tergantung dari kerelaan yang memesan. Hal itu mengingatkan Jogja di tahun 60-an. Setiap kali pementaskan drama kelompok drama urunan biaya produksi. Karcis yang dibagikan gratis pun belum tentu dapat mengundang pengunjung.
Kini di banyak kota di seluruh Indonesia, bisa dijumpai kegiatan/kelompok drama. Paling tidak di sekolah-sekolah. Dengan sederhana diselenggarakan pergelaran pada hari ulang tahun sekolah, hari-hari besar atau malam perpisahan di akhir tahun ajaran. Guru-guru menulis naskah, atau mengambil cerita dari legenda dan sejarah. Tak jarang cuplikan dari khazanah teater dunia seperti karya Shakespearre, Albert Canus, Jean Paul Sartre, Molierre, Ionesco dan Bekett muncul, meskipun dengan amat sederhana. Di radio Jogja, Jawa Tengah, pada tahun 60-an almarhum Soemardjono, penyiar radio yang mencintai drama, pernah memainkan Macbeth dalam bahasa Jawa.