Pages

3/29/12

Teater/Seni Pertunjukan sebagai Ilmu.

Drama di negara-negara berkembang baru dicobakan untuk menjadi profesi. Tetapi nampaknya langkah ke arah itu masih terlalu jauh. Masalahnya berbagai teater tradisi yang sudah hidup di kalangan rakyat luas, lebih banyak merupakan paguyuban. Para pelakunya adalah anggota komunitas yang memiliki pekerjaan lain untuk menyambung hidupnya. Teater lebih merupakan pengabdian sosial dari individu anggota masyarakat untuk kehidupan bersama.

Dalam diskusi pemberdayaan teater rakyat di Serang, Banten pada tahun 2005, seorang pemimpin teater rakyat curhat. Dia menceritakan bagaimana sulitnya hidup dengan teater. Walaupun kelompoknya tergolong langka dan paling terkemuka, tetapi pendapatannya tak tentu, tergantung dari kerelaan yang memesan. Hal itu mengingatkan Jogja di tahun 60-an. Setiap kali pementaskan drama kelompok drama urunan biaya produksi. Karcis yang dibagikan gratis pun belum tentu dapat mengundang pengunjung.

Kini di banyak kota di seluruh Indonesia, bisa dijumpai kegiatan/kelompok drama. Paling tidak di sekolah-sekolah. Dengan sederhana diselenggarakan pergelaran pada hari ulang tahun sekolah, hari-hari besar atau malam perpisahan di akhir tahun ajaran. Guru-guru menulis naskah, atau mengambil cerita dari legenda dan sejarah. Tak jarang cuplikan dari khazanah teater dunia seperti karya Shakespearre, Albert Canus, Jean Paul Sartre, Molierre, Ionesco dan Bekett muncul, meskipun dengan amat sederhana. Di radio Jogja, Jawa Tengah, pada tahun 60-an almarhum Soemardjono, penyiar radio yang mencintai drama, pernah memainkan Macbeth dalam bahasa Jawa.



Berbeda dengan cabang kesenian lain, seperti tari, seni rupa dan seni suara, yang sudah dapat menjadi sandaran hidup, drama masih merupakan kegiatan para amatiran. Sekedar hobi. Tetapi justru karena posisinya itu, drama memiliki kesempatan yang bagus untuk dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan. Karena tidak mengejar keuntungan, kegiatan drama jadi tetap terpelihara sebagai kantung bersosialisasi dalam masyarakat.

Tak sebagaimana asal muasalnya di masa Yunani Kuno, ketika drama merupakan dialog manusia pada dewa Dyonisos, dewa anggur, dewa kesenangan, dewasa ini drama merupakan ajang dialog antar manusia. Di komunitas drama yang amatiran, drama menjadi alat “gaul”. Kesempatan berinteraksi dengan orang lain. Alat mengenal pendapat-pendapat, sikap dan watak orang lain yang berbeda.

Dalam kelompok drama ada proses produksi yang menjadi pembelajaran berorganisasi. Dalam kelompok drama, para anggota belajar bekerja bergotong-royong. Mencari pengalaman menyelenggarakan perhelatan. Berkenalan dengan orang baru. Berlatih menghilangkan demam panggung di depan khalayak ramai. Membiasakan mempergunakan bahasa dengan baik, berbicara dengan jelas dan formal. Mematuhi desiplin.

Drama bukan hanya sebuah pertunjukan tetapi juga seluruh aspek kegiatannya. Ada organisasi dan pertemuan-pertemuan. Ada persiapan, perencanaan, pembagian tugas, penentuan target dan skejul dan latihan-latihan. Di situ ada kepemimpinan, kekeluargaan, solidaritas dan pembelajaran bekerja sebagai sebuah tim. Ada naskah yang harus dibahas, dianalisa dan didiskusikan. Ada pemilihan pemeranan. Ada study dan observasi. Ada pembuatan set, kostum, property, usaha pencarian dana, publikasi dan strategi penjualan karcis.

Di Indonesia hampir semua kelompok drama -- biasanya disebut kelompok teater -- berdiri karena ada seorang tokoh sentral. Jim Adi Limas dan Suyatna Anirun (Study Club Teater Bandung, STB), W.S Rendra (Bengkel Teater), Teguh Karya (Teater Populer), Arifin C Noer (Teater Kecil) adalah sosok-sosok yang memiliki keahlian lebih, hingga menarik dan memancarkan karisma. Mereka menjadi pemimpin, guru bahkan juga sering pembentuk watak anggota-anggotanya. Tokoh sentral itu mirip seorang “pemimpin spiritual” yang membawa kelompoknya membentuk kepribadian dan tingkah laku anggotanya, di samping mempopulerkan gaya pementasan yang tersendiri.

Di dalam drama, banyak hal-hal yang tidak bisa dilakukan dalam keadaan sehari-hari dimungkinkan. Para pelaku bisa berteriak, marah-marah, melakukan perbuatan yang sama sekali di luar watak aslinya. Pemain drama dapat mengucapkan banyak hal yang baru dan mengalami emosi yang belum pernah dirasakannya dalam kehidupan nyata. Ia bisa menjadi orang lain. Sesuatu yang dia sukai atau mungkin dibenci, tetapi tak bisa ditolak karena itu sudah menjadi perannya. Mau tak mau harus ia simak dan laksanakan dengan tekun.

Batin seorang yang terjun dalam kesibukan pemeranan akan bertambah kaya. Ia bisa keluar dari dirinya, sehingga lebih mengerti bagaimana dunia yang sebenarnya. Melihat berbagai perbedaan pendapat, sikap dan pandangan hidup orang lain. Memahami berbagai watak sehingga ia lebih paham lagi siapa dirinya sendiri. Dapat dikatakan bahwa drama mengantarkan seseorang untuk mengenal orang lain sebagai jalan untuk pencarian dirinya.

Seorang yang sebelumnya sangat pemalu dan jarang berbicara, setelah mengikuti latihan drama, mulai memiliki rasa percaya diri. Ia pun menjadi orang baru yang tidak takut bergaul. Seorang yang gagap berbicara, sehingga menghambat usahanya mencari pekerjaan, setelah mengikuti latihan drama jadi pasih.

Seorang yang tertekan dan eksentrik, tidak bisa dimengerti oleh keluarganya, setelah ikut latihan drama, menjadi normal. Seorang yang aneh suaranya kalau berbicara, tercekik dan menyakitkan telinga, setelah mengikuti latihan drama, suaranya berubah, lepas, keras tetapi empuk.

Drama memang sudah lama dianggap sebagai alat “penyembuhan”. Berpotensi menyeimbangkan, menyelaraskan jiwa manusia yang tertekan. Pak Kasur, tokoh pendidik dan pencinta anak Indonesia pada tahun 70-an, mengajak orang-orang yang mendapat gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Grogol untuk main drama. Kita lihat ada pekerja sosial di Afrika mengajak anak-anak jalanan untuk mengekspresikan dirinya dengan main drama dan berhasil.

Bung Karno, presiden pertama Indonesia, dalam masa pembuangannya di Bengkulu oleh Belanda, menulis dan mementaskan drama. Mantan Perdana Mentri Inggris, Margareth Tacher konon pada awal-awal menjabat, mendapat pengarahan yang khusus dalam membawakan teks pidatonya, seperti disutradarai. Karya besar Samuel Beckett berjudul Waiting for Godot yang memenangkan hadiah nobel, ketika dipentaskan di sebuah penjara di Amerika, mendapat sambutan yang gegap gempita.

Seorang sutradara senior pernah memberikan bimbingan acting untuk 100 orang top menejer Unilever, perusahaan terkemuka di Jakarta. Akting sudah mulai dipakai untuk mencetak menejer, seperti terbukti larisnya buku panduan berjudul: Leadership Presence.

Drama memang mengolah berbagai emosi, memiliki potensi untuk memupuk empati. Itulah yang kemudian menumbuhkan tenggang-rasa seseorang kepada manusia lain. Walhasil drama berpotensi meningkatkan rasa kemanusiaan. Mengasah batin manusia untuk hirau kepada sesamanya. Dengan demikian dapat dikatakan drama membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Sebenarnya drama, diajarkan atau tidak, dimasuki atau tidak, disadari atau tidak, sudah dilakukan oleh setiap orang di dalam kehidupan. Setiap hari, setiap orang sebenarnya adalah seorang pemain drama. Seorang pegawai, ketika mengenakan seragam yang biasa dipakai di kantornya, telah meninggalkan perannya sebagai seorang suami atau istri dalam rumah-tangga, untuk menjadi bos atau pesuruh di kantornya.

Seseorang yang berada dalam kesedihan karena ada sahabatnya yang meninggal, terpaksa harus mengganti perannya sebagai orang yang gembira dan banyak senyum, dalam resepsi pernikahan. Sebaliknya seorang majikan yang sangat senang karena sopirnya yang badung berhenti bekerja, terpaksa berpura-pura sedih berhadapan dengan istri sopirnya yang kebingungan karena suaminya jadi pengangguran.

Seorang ibu harus tersenyum, meskipun ia cemas melihat anaknya yang gagal. Seorang ayah berpura acuh tak acuh saja melihat anaknya memperoleh promosi dalam pekerjaannya, karena ia tidak mau kegembiraannya akan membuat anak itu sombong.

Seorang pemimpin tetap tenang dalam keadaan kritis agar pengikutnya masih bisa bertahan, padahal yang pertama sudah menyerah adalah dia sendiri. Seorang panglima dengan gagahnya bertempur paling depan, padahal sebenarnya dialah yang paling takut.

Semuanya itu adalah drama. Tak seorang pun bisa menghindari bahwa dia sudah main drama. Karena kehidupan sendiri adalah sebuah drama yang besar.

Tapi main drama di atas pentas, berbeda dengan menjalani drama kehidupan nyata. Dalam kehidupan, tidak ada permainan. Tidak ada latihan. Tidak ada sentuhan-sentuhan artistik. Terutama sekali tidak ada penonton. Semuanya dilakukan tanpa ada pilihan yang lain. Sedangkan di dalam main drama, semuanya sebenarnya adalah sebuah pengulangan yang sudah dilatih, dipilih-dipilah dengan teliti.

Dalam kehidupan yang sungguh-sungguh orang tidak bisa berpura-pura. Di dalam drama orang berpura-pura tetapi dengan sangat sungguh-sungguh. Dalam kehidupan yang sesungguhnya, sebagian orang tak bisa menarik manfaat dari pengalaman-pengalaman drama kehidupan. Tetapi dalam drama yang pertunjukan, semuanya adalah hasil pelatihan dan pembelajaran.

Di dalam kehidupan sebenarnya orang yang mengalami bisa tak mengalami. Di dalam drama, orang yang tak mengalami harus mampu mengalami.

Itu semua menegaskan bahwa drama mengolah rasa. Peristiwa tersebut penting dalam menjaga kualitas manusia pada saat perkembangan teknologi begitu pesatnya sehingga manusia cenderung hanya mengutamakan pikir/akal. Kegiatan drama menyebabkan wirasa yang terus-menerus ditumbuhkan kepekaannya agar tetap ada harmoni, sehingga batin manusia seimbang.

Drama membantu perkembangan jiwa manusia. Membimbing manusia tidak melempas dari rel kemanusiaan. Baik sebagai pelaku, hanya penonton atau pengamat, setiap orang mendapat pembelajaran spiritual dari drama. Dengan mengalami persoalan-persoalan kemanusiaan, drama mengolah watak dan menempa kedewasaan.

Peran drama dalam membina jatidiri manusia sangat besar. Karena itulah dalam peringatan-peringatan hari besar atau hari bersejarah bahkan hari-hari suci, sering dipertunjukan fragmen-fragmen (petilan drama) yang dapat mengembalikan wirasa manusia ke masa itu.

Negara, sebagai organisasi formal sekaligus sakral yang bertugas melindungi warganya, kadangkala lupa pada potensi budaya. Teknologi, ekonomi dan politik sering menjadi primadona sehingga budaya diposisikan sebagai anak tiri yang sudah bisa berjalan dengan sendirinya. Itu keteledoran besar.

Potensi kesenian sebagai bagian dari budaya (dalam hal ini drama) pun dinafikan sebagai aset negara. Padahal sudah jelas sekali orang pergi ke China selain untuk melihat Tembok Besar China juga karena mau menonton Opera Beijing. Orang ke Jepang tak hanya karena ingin melihat gunung Fuji tetapi juga menonton Kabuki. Orang ke Bali tak hanya karena warisan budaya yang terus hidup tetapi melihat kecak.

Antonin Artaud mendapat inspirasi setelah melihat tarian Bali, sehingga dia merumuskan konsep “teater kekerasan” yang menjadi salah satu pilar referensi dalam perkembangan teater modern dunia. Bertolt Brecht mendapat pengaruh dari Opera Beijing. Sedangkan Peter Brook, sutradara kondang asal Inggris yang menetap di Prancis melakukan workshop di Agfrika dan belajar banyak dari persentuhannya dengan kultur setempat.

Teater tradisi adalah bagian dari kehidupan sosial dan spiritual. Banyak pesan-pesan moral dilekatkan pada masyarakat lewat teater. Norma, etika, kepribadian ditanamkan lewat pertunjukan. Pesan-pesan resmi untuk warga dari penguasa sudah biasa disalurkan lewat dialog para pemain. Teater rakyat memiliki fungsi sebagai kanal-kanal untuk menggemboskan tekanan, sehingga kehidupan tidak selalu berada dalam ketegangan.

Dalam tradisi, teater adalah therapi sosial. Ada jenis pertunjukan yang khusus digelar pada saat-saat ada wabah sebagai tolak bala. Ada juga yang merupakan syarat untuk kelengkapan upacara tertentu. Ada yang merupakan kaul. Berbagai kebutuhan ini menunjukkan bahwa teater bukan hanya hiburan, tetapi memiliki berbagai tuah, meskipun memang sangat memanfaatkan potensinya yang menghibur.

Sebagai therapi sosial, drama menghadapi masyarakat/massa sebagai mahluk hidup. Kelompok dihadapi sebagai sebuah konsep yang hidup, punya watak, memiliki kebiasaan, punya kecendrungan-kecendrungan psikologis, yang juga berkembang, berubah-ubah dan mengalami pasang-surut emosi. Drama dapat menjelaskan apa yang harus dilakukan terhadap satu kelompok masyarakat, agar tercapai hasil yang diinginkan oleh kekuasaan.

Setiap satuan masyarakat tak ubahnya pribadi-pribadi yang harus didekati sebagai pribadi. Kalau tidak , besar kemungkinan segala rencana yang hendak disosialisasi kan bisa gagal.

Dengan demikian jelas sekali sebenarnya bagaimana penguasa/pemerintah dapat belajar banyak dari drama. Bagaimana mengayomi, memberdayakan, mengarahkan dan pengerahkan masyarakat.

Konflik agama di satu wilayah misalnya, kini dicoba diselesaikan dengan berbagai cara. Antara lain dengan melakukan perkemahan bersama dan melakukan permainan-permainan (yang tak ubahnya drama dalam bentuk yang paling sederhana) sehinga mendorong satu sama lain menyadari, walaupun agama berbeda, mereka sebenarnya saudara.

Sudah sering disimpulkan bahwa di mana ada keadaan yang bergolak, di situ akan subur hidup kelompok-kelompok drama “bawah tanah”. Drama menampung suara-suara terpendam masyarakat. Tapi sebenarnya suara-suara yang tidak terpendam pun, disuarakan lewat drama, hanya saja karena formulasinya tidak menyerang atau mengeritik, getarannya kurang.

Jadi boleh disimpulkan drama adalah suara dari masyarakat yang dapat difungsikan oleh negara sebagat alat berdialog yang efektif dengan rakyatnya. Drama adalah refleksi dan aspirasi dari rakyat.

Pada tahun 1974 Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan Festival Teater Remaja untuk Jakarta yang sampai sekarang terus berlangsung. Tak kurang dari 114 kelompok teater dari 5 wilayah Jakarta yang mendaftar. Kesibukan akbar itu, tak seluruhnya menampilkan pertunjukan-pertunjukan yang bagus. Banyak di antaranya kualitasnya amat bersahaja, karena hanya ditunjang oleh spontanitas dan keberanian. Tetapi dari pertunjukan-pertunjukan dalam festival itulah dapat terlihat profil remaja Jakarta pada saat itu.

Sebuah museum mengenalkan kita kepada sejarah. Tetapi sebuah pertunjukan drama menyingkap apa yang sedang ada di sekitar. Drama seperti sebuah museum hidup untuk memahami apa yang sedang terjadi. Kalau toh bukan seluruh fenomena, sebagian atau puncak-puncaknya yang terpenting.

Pernyataan itu tidak lagi merupakan sebuah premis yang harus dibuktikan, tapi sudah merupakan kenyataan. Tinggal sejauh mana negara akan berniat, berhasrat dan berdaya memanfaatkannya. Berpulang pada berapa jauh usaha dari orang-orang teater sendiri. Utamanya para pemikir-pemikir teater. Seberapa jauh mereka dapat membuktikan kemanfatan drama di samping faktor menghiburnya.

Bicara tentang pemikir-pemikir drama di Indonesia ada masalah, karena orang-orangnya tak ada. Masih sedikit sekali ahli yang mengkhususkan perhatiannya pada drama. Di Indonesia sampai makalah ini ditulis, doktor untuk bidang drama hanya 2 atau 3 orang saja. Akibatnya pertumbuhan pemikiran drama terhambat karena tidak ditopang oleh perangkat lunaknya.

Tak suburnya kehidupan pemikiran atas dunia teater sudah menyebabkan teater kehilangan pamor. Dalam kepustakaan Indonesia, pernah hanya ada satu buku referensi drama yang penting, yakni “Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor”, karya Bolelavsky yang diterjemahkan oleh Asrul Sani. Sekitar 15 tahun buku itu berjalan sendiri dan juga tidak termasuk buku yang laku.

Kemudian muncul buku Tentang Bermain Drama oleh WS Rendra. Baru setelah itu menyusul buku-buku lain. Tapi sampai sekarang belum ada satu buku pun tentang drama karya orang Indonesia yang sungguh-sungguh melihat drama sebagai ilmu.

Dengan demikian dapat dimengerti drama hanya dianggap sebagai hiburan. Lebih parah lagi, sebagai dagelan. Padahal sebagai seni kolektif yang ditunjang oleh seluruh cabang kesenian dan berbagai cabang ilmu (antara lain ilmu jiwa, sosiologi, politik, sejarah, filsafat) drama adalah pengetahuan. Buku-buku yang berisi telaah dan pemikiran tentang drama sudah tak terhitung. Drama tak hanya ditonton tetapi bagian dari dunia intelektual yang diperdebatkan oleh para doktor dan professor.

Bila pemikiran-pemikiran pada drama dapat dirangsang, akan semakin jelas nanti hubungan drama dengan pembangunan manusia dan kemajuan negara. Bukan tidak mungkin drama akan menjadi prioritas penting dalam rancangan anggaran belanja negara, karena peranannya dalam pendidikan dan pembangunan sangat penting.

Pendidikan tinggi dan akademi kesenian yang kini lebih banyak melahirkan seniman harus beringas untuk mencetak pemikir-pemikir teater. Sudah amat dibutuhkan cahaya matahari untuk menyingkap ilmu yang tersimpan beku di dalam drama. Hanya apabila itu dilakukan, drama atau teater akan menunjukkan arti yang sebenarnya dalam kehidupan dan kehidupan negara. Teater bukan hanya teater tetapi juga ilmu pengetahuan.

1 comment:

  1. Teater, atau drama dalam ulasan ini banyak banget manfaat & kegunaannya ya, tapi masih banyak grup teater lokal yang ga mampu pertahanin existensinya,, mungkin bisa ditambahin cara bertahan hidupnya juga,,hee

    Actually,, nais inpo nyaa :D

    ReplyDelete